Maaf, dari(ku) yang Pernah Gagal




Dua tahun yang lalu, ya. Seperti yang ceritanya sudah pernah kamu tahu. Gadis kecil ini pernah gagal. Bahkan segagal itu. Iya. Dia pernah hancur dan tidak berharga.


Dia kehilangan kepercayaan diri dan traumanya selalu ada. Utamanya ketika dia mencoba untuk membuka diri setelah bertemu dengan kamu. Seseorang yang ia temukan tidak berselang 2 bulan setelah keputusannya pergi dari ceritanya yang gagal itu. Namun, kamu mengerti kan? Trauma tidak lantas sembuh secepat luka basah yang mengering.
Dia, gadis kecil itu. Masih suka menangis ditengah gelapnya malam, di bawah lampu belajarnya yang putih dengan telinganya yang bersumpal earphone walau dia tidak mendengar lagu apa pun. Dia senang berbisik dengan guling dan bantalnya untuk meluapkan apa saja yang ia pendam sendiri. Bahkan, rambutnya tidak pernah tersisir rapi setelah ia menangis berantakan seperti itu. Tubuhnya seakan berserakan beserta jiwanya yang perlahan menghilang.

Putaran film lama selalu muncul didalam pikirnya dan seolah berisyarat semua akan berulang dalam perjalanan ini. Ketakutannya tidak akan pernah hilang, sampai kamu sendiri yang menenangkannya.

Gadis kecil itu berujar pada buku kecil miliknya. Buku itu berwarna biru, dilapisi plastik agar tidak kotor, sampulnya bergambar pemandangan indah negeri sakura dengan gazebo dan sungai di sekitarnya. Di dalam bukunya, gadis itu menumpahkan tinta hitam dari penanya ke kertas kuning.

Ia berujar, "benarkah semuanya akan terulang kembali? Apakah aku akan gagal untuk ke-2 kali(nya)?"

Setelah menulis, ia menangis lagi. Matanya sembab, hidungnya memerah, napasnya tidak teratur dan pikirannya seolah sedang diterpa badai. Hancur, sirna dan hilang.

Tak sempat untuk berpikir lagi. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Dia berpura-pura tidur seolah tidak ada yang terjadi. Si pengetuk pintu (ayah si Gadis) hanya melihat dan mengawasi apakah benar gadis ini telah tidur sembari mematikan lampu belajarnya.

Sayup suara itu hilang. Akhirnya ia kembali bangun dan menulis kembali di dalam catatan telepon genggamnya.

"Maaf dari(ku) yang pernah gagal"

"Aku tidak pernah tahu apa yang aku inginkan setelah ini. Tetapi aku ingin kita menjadi teman baik. Aku tidak bisa memahami dirimu sepenuhnya, karena traumaku lebih besar daripada kemauanku. Maaf jika omongku yang banyak menyakitimu. Maaf jika pikiranku yang banyak ini mengganggumu. Maaf jika keputusan-keputusanku untuk tidak berkomunikasi membuatmu tidak nyaman. Maaf, traumaku masih lebih besar daripada keinginanku untuk menjalani perjalanan ini. Sekali lagi maaf, dari(ku) yang pernah gagal."

Dia tertidur di atas kasur birunya, menyelimuti diri dengan tangisan dan demam tinggi setelahnya. Gadis itu, tidak terbangun lagi hingga pada kenyataannya, dia memang tidak pernah bangun (lagi) untuk selamanya.


- Ara, 2022.

Kamar Banjarbaru.


Komentar

Postingan Populer