Aku kenapa? : Catatan dalam 3 hari
Zahra! Sadar!
Selama ini aku berpikir, aku bisa membantu orang dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku selalu berpikir bisa berbuat baik dengan bekal yang aku punya. Aku selalu berpikir bisa berbagi dengan sedikit hal yang aku kuasai. Aku selalu berpikir bisa membuat orang disekitarku senang atau bahagia dengan kehadiran dan keceriaan yang selalu aku buat-buat.
Tetapi ternyata aku kurang tepat. Aku tidak bisa selalu berbuat sesuatu untuk orang lain. Ada yang lebih memerlukan diriku, dibanding orang lain. Siapa? Iya diriku sendiri. Selama ini aku sibuk berusaha menjadi "Hero" bagi orang lain, tapi aku lupa, lupa kalau aku juga perlu sosok "Hero" itu untuk diriku sendiri.
Ceritaku dalam 3 Hari
30 Juni, 1 Juli dan hari ini, jadi salah 'tiga' hari yang sesak untuk aku bernapas. Bahkan kemarin sore, di dapur asrama, sambil menunggu cucian, aku melamun di depan kulkas, hampir tidak menyadari apa yang aku lakukan. Mungkin saat itu, jika lamunanku tidak disadarkan oleh mba Rahmi, aku akan tetap mematung hingga adzan isya di depan kulkas dengan pikiranku yang berkecamuk di kepala.
Hitung mundur dari ~ 1 Juli
Sebelum banyak lamunan itu, kemarin adalah hari Jumat kan? Aku ada jadwal untuk mengajar di salah satu ma'had di kotaku. Mengajar bahasa Inggris anak-anak kelas X dan kelas XI SMA. Berusaha penuh saat malam harinya menahan tangis, agar mataku tidak terlihat sembab hari itu.
Di tengah anak-anak kelas X, aku memulai pelajaran dengan memperkenalkan diri dan tentu mereka juga melakukan hal yang sama. Aku memberikan mereka materi mengenai, "how to introduce our self" dan langsung practice di depan kelas, masing-masing secara bergantian.
Hingga pukul 09.20, aku istirahat 5 menit untuk kemudian melanjutkan mengajar di kelas XI. Di kelas XI, aku melakukan hal yang sama, memperkenalkan diri dan fokus untuk praktek perkenalan. Kenapa? Dikarenakan aku guru baru di Ma'had itu dan belum mengenal betul siswa yang akan aku ajar selama 1 semester ke depan.
Selain introduction, kebetulan sekali kelas XI ini sedikit muridnya. Lantas, aku bisa memulai pelajaran lebih awal dibanding kelas yang lain. Aku memberikan materi tentang Offer and Suggestion. Menawarkan saran atau memberikan saran (read: ketika dimintai saran).
Mereka cukup antusias dan aku memberikan mereka PR untuk dikerjakan secara bersama-sama. PRnya cukup sederhana, membuat percakapan yang mengandung Offer and Suggestion.
Di tengah kegundahan, ketakutanku, aku selalu berusaha senyum di sepanjang waktu mengajarku. Ketika Muridku menyapa dengan senyum manisnya, "assalamu'alaikum ustadzah". Pun aku menoleh lalu senyum manis sambil membalas, "iyaaa :)" Selalu seperti itu hingga aku masuk ke dalam kamar asrama.
Apa ketika di dalam kamar lantas aku mudah membuang senyum dan menangis? Jawabannya tidak. Di kamar asramaku ini, aku tinggal bersama 3 orang yang lainnya. Jadi, meskipun aku di kamar, aku harus tetap tersenyum menyembunyikan apa yang aku rasakan.
Bahkan ketika di dalam kamar mandi, aku berusaha sekali untuk tidak memikirkan apa pun yang akan membuatku menangis. Jujur aku lelah sekali. Aku ingin bercerita, tapi aku tidak tau apa yang ingin aku ceritakan.
Sekitar pukul 13.50 aku keluar asrama untuk pergi ke rumah salah satu murid yang aku ajar secara private. Kembali, aku harus tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Bahkan sesekali aku tertawa terbahak bersama muridku yang satu itu. Membahas hal-hal yang random yang mungkin saja kami pikirkan saat selesai belajar.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah mudirku itu, aku mengendarai motorku dengan pelan. Menyusuri jalanan kota Banjarbaru yang saat itu sedang terik-teriknya. Melihat sekeliling, aku takut. Takut ada seseorang yang akan mengikuti di belakangku. Karena kejadian satu hari sebelumnya. Namun aku berusaha meyakinkan diri bahwa itu tidak akan terjadi lagi.
Sampai di asrama tidak lantas aku beristirahat, aku berganti pakaian, cuci tangan, muka dan kaki. Kemudian merebahkan diri ke kasur, sambil menyetel pengaturan alarm agar tidak terbangun lewat dari jam 16.00, oh iya, kalau tidak salah mengingat, aku sampai di asrama pukul 15.20, artinya aku punya waktu tidur siang, "barang sebentar" sekitar 40 menitan.
Bersiap untuk halaqoh bersama santri asrama, aku bangun pukul 16.00 tepat, tapi tenang. Halaqoh di mulai pukul 16.45.
Akhirnya aku memutuskan untuk sikat gigi lalu mencuci mukaku, mengganti pakaian, berkerudung, sedikit memoles wajahku menggunakan bedak, lalu turun ke lantai bawah untuk halaqoh.
Bertemu dengan santri yang sudah bersiap menyetorkan tilawahnya, aku bersemangat pula untuk memberi pelajaran terbaik yang aku mampu. Tentu sebelumnya berdoa di beri kekuatan dan kemampuan untuk memahamkan apa yang akan jadi materi hari ini.
Berlalu dari halaqoh, aku kembali ke kamar dan memerhatikan tumpukan baju-baju harianku. Aku memutuskan untuk mencuci pakaianku yang menumpuk itu menggunakan mesin cuci milik asrama yang disediakan di dapur asrama.
Aku pergi ke dapur dengan rok hitam, baju strip andalanku dan bergo 'hjb pelangi' hitam kesukaanku. Aku mulai menyiapkan kabel-kabel untuk mesin cucinya.
Aku memasukkan air dan sabun, kemudian memutar mesin cuci, lalu memasukkan pakaianku satu persatu. Setelah semua masuk, aku memutar kembali pengaturan waktunya lebih lama.
Sebenarnya aku membawa gawaiku, tapi tidak tau mengapa memandangi gawai kurang menarik untukku. Aku memilih mematung di depan mesin cuci sambil memikirkan banyak hal di kepala. Rasanya ramaaaai sekali isi kepalaku. Seperti pasar malam saja, ada yang main komidi putar, bianglala, ada yang jualan siomay, batagor, sampai sepertinya juga ada yang menjajakan klepon. Pusing wkwk.
Sampai pada akhirnya lamunanku disadarkan oleh salah satu muridku, Maryam namanya. Dia tiba-tiba mengetuk jendela dapur. Lantas aku mendekatinya dan bertanya, "kenapa nak?" Dia berujar, "ustadzah, anti bisa bahasa Inggris, kan?" Aku menjawab, "na'am in syaa Allah bisa, kenapa Maryam?".
Dia kembali bertanya, "boleh tidak ustadzah kalau semisal Maryam mau latihan berbicara (read : speaking) ke ustadzah?" Aku cukup senang mendengar pertanyaan ini dan tentu saja dengan antusias aku menjawab, "boleh dong. Nanti kalau Maryam luang dan ustadzah luang juga, kita latihan bareng ya. Nanti ketuk aja pintu kamar ustadzah, oke?"
Maryam setuju dengan mengangguk lalu bertanya lagi, "ustadzah, hari ini ana boleh mengirim surat ke ummi atau tidak?" Aku menjawab, "maaf ya Maryam, jadwal mengirim surat itu hari Rabu, jadi anti belum bisa mengirim surat hari ini. Nanti hari Rabu aja kasih suratnya ya." Dia mengerti dan menutup percakapan kami dengan, "oh iya, na'am ustadzah, Syukron Ustadzah" kemudian berlalu bersama teman-temannya utk bersiap salat maghrib.
Aku kembali dengan lamunanku, menatap mesin cuci sambil masih dengan keramaian di kepalaku. Tiba-tiba ada seseorang datang, rupanya itu mba Rahmi. Beliau masuk lalu berkata, "nyuci mba?" Aku tersadar lalu bilang, "hehe iya mba, mumpung lagi haid, jadi sore-sore gini nyucinya."
Beliau senyum lalu kembali ke kamarnya.
Aku masih saja mematung, sesekali aku ingin menangis, tapi karena sendirian, aku takut hal-hal buruk terjadi padaku. Sesekali dadaku sesak, mataku seperti ingin mengeluarkan air, tapi aku selalu menengadah lalu berkata pada diri sendiri, "eh jangan nangis, jangan nangis, tahan-tahan." Selalu begitu hingga kegiatan mencuciku selesai.
Di dalam kamar, aku mencoba untuk melakukan komunikasi dengan beberapa orang. Saudaraku, temanku dan sahabatku. Namun rupanya, mereka punya kesibukan sehingga susah untuk aku hubungi. Akhirnya aku memilih untuk mengambil makan sendirian di dapur besar. Benar-benar sendirian tanpa teman.
Masih saja dengan lamunanku, aku bingung. Aku tidak tau harus berbuat apa. Ingin menangis tapi malu. Ingin menahan tapi aku sesak. Akhirnya aku diam, hingga pukul 22.00, chattingku dibalas oleh salah satu temanku.
-to be continued-

Komentar
Posting Komentar